Makalah Fiqih Munakahat
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkawinan merupakan salah satu ibadah yang pasti akan dilewati oleh setiap orang Islam, dan tujuan utama didalam perkawinan selain sebagai pelengkap keislaman seseorang didalm ibadah ialah juga agar agar dapat membangun keluarga yang sakinah, sehingga membuahkan mawadah wa rahmah serta dapat mewariskan keindahan islam kepada keturunannya yang tak lain agar Islam tetap eksis dan berjaya.
Namun disamping itu yang sudah tak asing lagi bagi kita khususnya kaum muslim bahwa kerap kali didalam membangun rumah tangga seperti yang dicitacitakan oleh rasulullah sering kali menghadapi problematika-problematika hidup, baik itu dari segi bathiniyah maupun dhohiriyah yang dewasa ini sering kita kenal dengan faktor intern dan faktro ekstern.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan rumusan masalah di atas dapat di uraikan sebagai berikut :
- Apa pengertian Ila ?
- Apa dasar hukumf?
- Apa peranan syariat islam terhapa ilat?
- Apa rukun dan syarat ila?
- Apa status perkawinan setelah lewat 4 bulan?
C.Tujuan Masalah
- Untuk mengetahui pengertian ila
- Untuk mengetahui dasar hukum
- Untuk mengetahui peranan syariat islam terhadap ila
- Untuk mengetahui status perkawinan setelah leawt 4 bulan
- Untuk mengetahui syarat dan rukun ila.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ila
Ila’ adalah sumpah suami bahwa ia tidak akan mencapuri istrinya dalam masa lebih empat bulan atau dengan tidak menyebut masanya. Ila’ merupakan tradisi orang-orang jahiliyah Arab dengan maksud untuk menyakiti istrinya dengan cara tidak menggauli dan membiarkan istrinya menderita berkepanjangan tanpa ada kepastian apakah dicerai atau tidak.
Setelah Islam datang, tradisi tersebut dihapus dengan cara membatasi waktu Ila’ paling lama empat bulan. Dengan demikian, apabila masa empat bulan itu sudah lewat, suami harus memilih rujuk atau talak. Apabila yang dipilih rujuk, suami harus membayar kafarat sumpah. Namun, jika yang dipilih talak, akan jatuh talak sugra.
Menurut Rijal ( 1997 : 250 ) ila’ adalah sumpah suami untuk tidak menggauli istrinya dalam waktu selama empat bulan atau tanpa ditentukan.
Menurut Hakim dalam bukunya hukum perkawinan islam ( 2000 : 180) ila adalah sumpah suami untuk tidak melakukan hubungan seksual dengan istrinya. Perbuatan ini adalah kebiasaan jaman jahiliyah untuk menyusahkan istrinya selama satu tahun atau dua tahun. Perbuatan ini tentu akan menyiksa istrinya dan menjadikan statusnya menjadi tidak jelas, yaitu hidup tanpa suami, namun juga tidak dicerai.
Menurut Rasjid dalam bukunya fiqih islam ( 1996 : 410 ) ila artinya sumpah suami tidak akan mencampuri istrinya dalam masa lebih dari empat bulan atau tidak menyebutkan jangka waktunya.
B. Dasar hukum Ila
Firman Allah SWT dalam Q.S Al-baqarah ayat 226-227
لِّلَّذِينَ يُؤْلُونَ مِن نِّسَآئِهِمْ تَرَبُّصُ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ فَإِنْ فَآءُو فَإِنَّ اللهَ غَفُور رَّحِيمُُ وَإِنْ عَزَمُوا الطَّلاَقَ فَإِنَّ اللهَ سَمِيعٌ عَلِيمُُ
Artinya :“ Kepada orang-orang yang mengila’ istrinya diberi tangguh empat bulan( lamanya) kemudian jika mereka kembali ( kepada istrinya ), maka sesungguhnya Allah SWT maha pengampun lagi maha penyayang. Dan jika mereka berazam ( bertetap hari untuk) talak, maka sesungguhnya Allah SWT maha mendengar lagi maha mengetahui.
C. Peranan syariat islam terhadap Ila
Setiap ketentuan agama mempunyai tujuan dan hikmah yang bermuara pada kemaslahatan umat diantara tujuan dalam hal ini adalah supaya suami tidak menyalahgunakan kekuasaan didepanistrinya dengan cara tidak melaksanakan perintah agama untuk menggauliistrinya secara baik. &engan adanya ketentuan ini diharapkan suami tidak mempermainkan kehidupan rumah tangga dengan seenaknya.
Jikalau seorang suami ingin kembali lagi kepada istri nya setelah sumpah yang ia ucapkan kepada istrinya berkaitan dengan tanggung jawab suami karena tidak maum mengauli dan memberi nafkah sang istri maka ila harus membayar kafarah ila yang terdapat dalam surat al maidah ayat 89 yakni:
Dalam surat Al-Maidah ayat 89
لَا يُؤَاخِذُكُمُ ٱللَّهُ بِٱللَّغۡوِ فِيٓ أَيۡمَٰنِكُمۡ وَلَٰكِن يُؤَاخِذُكُم بِمَا عَقَّدتُّمُ ٱلۡأَيۡمَٰنَۖ فَكَفَّٰرَتُهُۥٓ إِطۡعَامُ عَشَرَةِ مَسَٰكِينَ مِنۡ أَوۡسَطِ مَا تُطۡعِمُونَ أَهۡلِيكُمۡ أَوۡ كِسۡوَتُهُمۡ أَوۡ تَحۡرِيرُ رَقَبَةٖۖ فَمَن لَّمۡ يَجِدۡ فَصِيَامُ ثَلَٰثَةِ أَيَّامٖۚ ذَٰلِكَ كَفَّٰرَةُ أَيۡمَٰنِكُمۡ إِذَا حَلَفۡتُمۡۚ وَٱحۡفَظُوٓاْ أَيۡمَٰنَكُمۡۚ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ ٱللَّهُ لَكُمۡ ءَايَٰتِهِۦ لَعَلَّكُمۡ تَشۡكُرُونَ
Artinya :Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah),tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja,maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin,yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu,atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kaffaratnya puasa selama tiga hari.Yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar). Dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan kepadamu hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur (kepada-Nya).
Kafarat Ila' adalah sumpah suami untuk tidak melakukan hubungan biologis dengan istrinya dalam masa tertentu.Semisal perkataan suami kepada istirnya, "Demi Allah aku tidak akan menggaulimu".Konsekuensi yang muncul karena ila' adalah suami membayar kafarat ila' yang jenisnya sama dengan kafarat yamin (kafarat melanggar sumpah.
Apabila seorang suami bersumpah sebagaimana sumpah tersebut, hendaklah ditunggu selama empat bulan. Kalau dia kembali baik kepada istrinya, sebelum sampai empat bulan, dia diwajibkan membayar denda sumpah ( kaparat ) saja. Tetapi sampai empat bulan dia tidak kembali baik dengan istrinya, hakim berhak menyuruhnya memilih dua perkara, yaitu membayar kaparat sumpah serta berbuat baik pada istrinya, atau menalak istrinya. Kalau suami itu tidak mau menjalani salah satu dari kedua perkara tersebut, hakim berhak menceraikan mereka secara terpaksa.
D. Rukun dan syarat ila
Menurut jumhur fuqaha, ila’ memiliki empat rukun
a. Al-haalif (orang yang bersumpah atau al-mauli)
Menurut madzhab Hanafi orang yang melakukan ilaa’ adalah setiap suami yang memiliki kemampuan untuk menjatuhkan talak. Yaitu semua orang yang aqil baligh yang memiliki pernikahan dan disandarkannya kepada kepemilikian pernikahan. Atau orang yang tidak dapat mendekati isterinya kecuali dengan ssuatu yang berat yang harus dia penuhi.
Menurut madzhab Syafii, orang yang melakukan ila’ adalah suami yang sah talaknya atau semua suami yang aqil baligh yang mampu untuk melakukan persetubuhan. tidak sah ilaa’ yang dilakukan oleh anak kecil, orang gila, orang yang dipaksa dan orang yang lumpuh.
Menurut madzhab Hambali orang yang melakukan ila’ adalah setiap suami yang dapat melakukan persetubuhan, yang bersumpah dengan nama Allah SWT atau dengan salah satu sifatnya untuk tidak menyetubuhi isterinya yang dapatdisetubuhi dalam masa yang melebihi empat bulan.
b. Al-mahluuf bihi (yang dijadikan sebagai sumpah).
Yang dijadikan sebagai sumpah adalah dengan menyebut nama Allah atau juga dengan menyebut sifat-sifatnya menurut kesepakatan para fuqaha. Menurut madzhab Hambali dan Maliki orang yang tidak melakukan persetubuhan dengan tanpa sumpah dilazimkan hukum ila’ jika dia bertujuan untuk menciptakan kemudharatan. Oleh sebab itu ditetapkan masa selama empat bulan.
c. Al-mahluuf’alaih (objek sumpah)
Objek sumpah adalah persetubuhan, dengan semua lafal yang mengandung pengertian persetubuhan. Misalnya: aku tidak setubuhi kamu dan aku tidak junub darimu, aku tidak dekati kamu.
d. Masa
Menurut pendapat jumhur fuqaha selain madzhab Hanafi yaitu si suami bersumpah untuk tidak menyetubuhi isterinya selama lebih dari empat bulan. Sedangkan menurut madzhab Hanafi masa yang paling minimal adalah lebih dari empat bulan, oleh karena itu, jika si suami bersumpah selama tiga bulan atau empat bulan maka menurut jumhur fuqaha dia tidak melakukan ilaa’.
Sebab perselisihan pendapat diantara mereka adalah kembali kepada mereka mengenai al-fay yang merupakan tindakan kembali mendekati isteri. Apakah dilakukan sebelum lewat masaempat bulan ataukah setelah masa empat bulan.
Syarat perbuatan ila.
Menurut madzhab Hambali dan madzhab-madzhab yang lain menyebutkan empat syarat bagi ila’ yakni:
- Si suami bersumpah dengan nama Allah SWT atau dengan salah satu sifatnya, seperti yang maha kasih, dan tuhan sekalian alam, bahwa dia tidak menyetubuhi isterinya lebih dari empat bulan.
- Si suami bersumpah untuk tidak melakukan persetubuhan selama lebih dari empat bulan karena Allah SWT menjadikan orang yang mengucapkan sumpah menunggu selama empat bulan.
- Si suami bersumpah untuk tidak melakukan persetubuhan di bagian vagina.
- Yang dijadikan sebagai obyek sumpah adalah isteri, karena orang yang selain isteri tidak memiliki hak untuk disetubuhi oleh si suami, maka si suami tidak dapat melakukan ilaa’ kepada perempuan yang selain isteri.
E. Lafal Ila’
Para ulama berbeda pendapat tentang sumpah apakah yang dapat dijadikan ila, menurut imam Malik megatakan ila, bisa terjadi dengan setiap sumpah. Imam Syafii megatakan ila’ tidak bisa terjadi kecuali dengan sumpah yang dibolehkan di dalam syariat yaitu sumpah atas nama Allah atau dengan salah satu namanya. Imam Malik berpegang dengan keumuman maksudnya keumuman firman Allah SWT “kepada orang-orang yang mengila’ isterinya diberi tangguh selama empat bulan lamanya” QS. Albaqarah ayat 226.
Ilaa’ dapat dilakukan dengan lafal yang bersifat terang-terangan atau dengan lafadz sindiran yang menunjukkan ketidakmauan suami untuk melakukan persetubuhan. Termasuk diantara lafal ilaa yang yang bersifat terang-terangan menurut madzhab Hanafi dan menurut madzhab Maliki adalah ucapan suami kepada isterinya seperti ”demi Allah aku tidak akan mendekatimu atau tidak akan menyutubuhimu, tidak menggaulimu, mandi junub darimu, atau ucapan suami”demi Allah aku tidak akan mendekatimu selama empat bulan” atau ucapan suami menurut para fuqaha yang selain madzhab hambali, “jika aku mendekatimu maka aku akan melakukan ibadah haji” atau perkara lain yang sulit untuk dilakukan.
Menurut madzhab Syafii ila’’ yang bersifat terang-terangan adalah sumpah untuk meninggalkan persetubuhan atau merobek keperawanan, dan kalimat lain sejenisnya.
Ilaa’ sah dilakukan dengan semua bahasa Arab dan asing, apakah orang yang mengucapkan ilaa’ adalah orang yang mampu berbahasa Arab ataupun orang yang tidak mampu berbahasa arab.
F. Status perkawinan setelah 4 bulan
Sebagian ulama berpendapat, apabila sampai empat bulan suami tidak kembali ( tidak campur ), maka dengan sendirinya kepada istri itu jatuh talak bain, tidak perlu dikemukakan kepada hakim.
Talak bain ia lah,Menalak Istri Sebelum Digauli Adalah Talak Ba’in Menalak istri sebelum digauli adalah talak ba’in, meskipun sudah berkhalwat (berdua-duaan) dan terjadi apa yang terjadi (selain senggama).
Hukum perceraiannya adalah bainunah sughra’ (perpisahan kecil). Artinya, tidak halal baginya untuk merujuknya melainkan dengan akad nikah yang baru. Karena hak rujuk hanya ada pada masa ‘iddah, sedangkan ini tidak ada masa ‘iddahnya.
Dasarnya terdapat dalam surat Al-ahzab :49
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا ۖ فَمَتِّعُوهُنَّ وَسَرِّحُوهُنَّ سَرَاحًا جَمِيلًا
“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya, tidak wajib atas mereka ‘iddah (penantian) bagimu yang kalian minta menyempurnakannya.Maka berilah mereka mut’ah dan lepaskan mereka dengan cara yang baik.”
Jika seorang bersumpah tidak mencampuri isterinya dalam waktu tertentu baik kurang atau lebih dari empat bulan maka ia mesti menunggu sampai berakhirnya masa yang telah ditentukan. Setelah itu ia dibolehkan mencampuri isterinya kembali. Bagi si isteri juga agar bersabar dan ia tidak berhak meminta rujuk pada suami.
Menurut imam Malik, Syafi’i, Ahmad Abu Tsaur, Daud Al-Laits berpendapat bahwa sesudah lewat masa empat bulan, keputusan tentang diri isteri bergantung pada keadaan, apakah suami kembali kepada si isteri ataukah menceraikannya. Pendapat ini juga dikemukakan oleh ali ra dan ibnu umar.
Menurut Imam Abu Hanifah beserta pengikutnya dan atsauri berpendapat bahwa talak jatuh dengan sendirinya sesudah lewat masa empat bulan, kecuali jika suami kembali lagi kepada isteri. Pendapat ini juga dikemukakan oleh oleh ibnu mas’ud ra dan para pengikutnya.
Hikmah diberlakukan masa empat bulan adalah :
- Dalam masa empat memungkinkan jiwa untuk mengembalikan diri dari menggauli istri. Begitu juga sang isteri dia tidak mampu lagi untuk bertahan lebih dari masa itu dalam menggauli suami.
- Dalam masa ila’ itu ada kesempatan untuk menjaga kehormatan diri. Lebih dari itu maungkin saja keduanya tidak lagi mampu menjaga kehormatannya inilah hikmah yang tegas.
Apabila telah lewat selama empat bulan, maka Seorang suami yang mengila’ istrinya jika diberi tawaran dan diminta fai’ah dan ia mampu untuk melakukannya tetapi ia tidak mau melakukannya maka ia diperintahkan untuk menceraikan isterinya. Demikianlah pendapat setiap orang yang menyatakan keharusan memberikan tawaran kepada laki-laki yang mengila yang sudah batas waktu. Karena Allah telah berfirman “setelah itu suami boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikannya dengan cara yang baik” (al-baqarah ayat 229).
Dengan demikian jika suami menolak melaksanakan kewajiban kepada isterinya berarti telah menolak untuk rujuk dengan cara yang baik pula. Sehingga ia diperintah untuk menceraikan dengan cara yang baik pula. Jika ia berhalangan, maka ia harus menyatakan bersedia kembali secara lisan. Dan jika sudah mampu bercampur maka ia diperintahkan untuk segera bercampur dan jika tidak maka ia diperintahkan untuk menceraikan isterinya tersebut. Demikianlah yang dikemukakan oleh Syafii dan Ahmad.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ila’ adalah bersumpah untuk tidak mencampuri isterinya lagi dalam waktu empat bulan atau dengan tidak menyebutkan jangka waktunya.
Ila’ ini disyaratkan untuk menyebut nama Allah, tidak mencampuri isterinya selama empat bulan, bersumpah tidak melakukan hubungan badan dan yang menjadi objek sumpah itu adalah si isteri. Dan juga mempunyai rukun yakni almauli, yang dijadikan sumpah adalah nama Allah, almaf’ul ‘alaih dan masa.
Pada masa ila’ isteri tidak boleh meminta untuk berjima’ dan mesti bersabar sampai waktu yang dietntukan. Dan apabila waktu ila’ itu telah tiba dalam artian ila’ masa ila’ sudah habis maka isteri boleh untuk meminta kembali kepada suaminya dan apabila suami menolak hal demikian maka si isteri boleh mengajukan kepada qadhi dan qadhi berhak untuk menjatuhkan talak.
Kemudian jika suami menyetubuhi isterinya maka ia diwajibkan membayar kifarat sebagai penembus sumpahnya.yakni memberikan makan 10 orang miskin, memberikan pakaian bagi mereka dan memardekakan budak akan tetapi biaya tidak mencukupi ma ia diwajibkan berpuasa.
B. Sara
Pemakalah sangat menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna,kritik dan saran pembaca sangat di harapkan penulis demi kebaikan hasil makalah ini.Penulis berharap dengan makalah ini para pembaca bisa lebih paham terhadap pemaparan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
- Az-Zuhaili, Wahbah, 2011, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Jakarta: Gema Insani
- Uwaidah, Muhammad Kamil, 1998, Fiqih Wanita, Jakarta, Pustaka Al-Kautsar
- Ayyub, Hasan, 2008, Fiqih Keluarga, Jakarta, Pustaka Al-Kautsar
- Rusyid, Ibnu, 2007, Bidayatul Mujtahid Jilid Dua, Jakarta: Pustaka Azzam
- Ayyub, Hasan, 2005, Fiqih Keluarga, Jakarta, Alkautsar
Comments
Post a Comment